Bangkini, Sang Maestro Biola Dari Desa Laerung kabupaten Wajo

Sore itu, dengan penuh semangat, lelaki tua itu menggesek biolanya. Biola lawas keluaran 1732, lebih 300 tahun. Ia memainkan beberapa lagu tradisional klasik, yang tak satupun pernah saya dengar sebelumnya. Pak Bangkini, lelaki kelahiran 1946 berduet dengan anaknya Firdaus yang memainkan mandolion. Firdaus, kini berusia 35 tahun mewarisi bakat bermusik dari ayahnya. Ia pun terampil memainkan berbagai alat musik tradisional Sulawesi.

Setelah memainkan beberapa lagu, Pak Bangkini pun mulai bertutur. Ia bercerita banyak tentang masa mudanya. Menamatkan pendidikan di SR setelah berpindah sebanyak empat kali akibat situasi yang kacau di era 50an. Berkat dorongan gurunya, ia pun menekuni lagu lagu tradisional.

Belajar musik secara otodidak. Menyimak dengan tekun setiap pementasan musisi, lalu saat rehat, ia pun mulai memainkan alat musik hingga terampil memainkan beberapa alat musik, khususnya biola. Pak Bangkini kemudian bergabung dengan sanggar seni Seadat Tempe sebagai Sanggar Seni pertama di Wajo. Ia menjadi pemain yang termuda di masanya.


Pernah tampil di Polmas tahun 1957 (Polman dulu) atas undangan Andi Selle di sebuah acara pernikahan. Beliau juga sering menghadiri berbagai undangan yang kala itu masih naik Bendi, Perahu, atau malah berjalan kaki hingga berkilo-kilo meter. Untuk itu, ia memperhitungkan jarak tempuh dari rumah menuju lokasi undangan yang kadang butuh waktu berhari hari.

Posisi sebagai musisi, membuatnya bisa bertahan hidup di masa kritis negara ini. Biasanya habis pementasan, ia diberi uang tunai tanda terimakasih. Malah terkadang cuma diberi beras atau padi. Di masa DI/TII, adalah masa dimana orang sangat gampang untuk tewas. Namun sebagai musisi, terkadang ia diminta menghibur TNI dan DI/TII yang kala itu sedang berperang. Bahkan PKI pun sempat mengundangnya. Itu terjadi 3 bulan sebelum G/30S yang Pak Bangkini sendiri terlibat bersama berbagai ormas untuk mengganyang PKI.

Ketika kondisi sudah tenang, dia diminta untuk melatih beberapa Sanggar Seni. Bahkan hingga sekarang tak jarang masih ada undangan mewakili daerah. Dia juga menyebut banyak akademisi luar dan dalam negeri yang pernah datang kepadanya. Pernah juga diminta menjadi dosen luar biasa di sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar. Namun, dia menolaknya dengan alasan terlalu jauh.

Satu hal yang mengecewakannya. Saat peneliti asing datang dan memintanya pergi ke Eropa. Sayang undangan dan tiketnya tidak sampai kepadanya. Undangannya diambil alih oleh oknum dengan alasan menyayangkan kondisinya jika bepergian jauh. Padahal, semestinya dialah mengharumkan nama daerah dan bangsa di Eropa. Mimiknya begitu sedih saat menceritakan hal tersebut pada saya.

Pak Bangkini hidup sederhana bersama keluarga kecilnya di Desa Laerung Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo. Memorinya yang sekuat feeling, terselubung dibalik tubuh kurusnya yang mulai renta. Ia bukan hanya penyaksi sejarah, ia juga pelaku sejarah. Ia bukan hanya maestro biola, tapi juga bank lagu klasik bugis makassar yang tersisa. Di balik dirinya yang makin menua, namun semangatnya masih seperti anak muda. Ia salah satu pelestari budaya Bugis yang sesungguhnya. (Sumber: www.diskusilepas.id)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال