![]() |
| Advokat Sudirman, Koordinator Divisi Advokasi, Pencegahan, dan Layanan Pusat PATBM Wajo. (foto: dok. IC) |
InilahCelebes.com, Wajo - Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah menuai kontroversi di Kabupaten Wajo. Pusat Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Wajo menilai kebijakan tersebut berpotensi mendiskriminasi anak-anak yang tidak memiliki ayah, baik itu anak yatim, anak yang orang tuanya bercerai atau karena faktor lain.
Koordinator Divisi Advokasi, Pencegahan, dan Layanan Pusat PATBM Wajo, Sudirman, turut angkat bicara terkait polemik ini. Ia menilai, kebijakan tersebut kurang sensitif terhadap realitas sosial yang dihadapi sejumlah anak, terutama yang telah kehilangan sosok ayah.
“Surat edaran itu terkesan tidak pro terhadap anak-anak yatim. Tidak semua anak memiliki ayah yang bisa mengantar mereka ke sekolah. Ini bisa menimbulkan rasa tersisih atau berbeda di kalangan mereka,” ujar Sudirman yang juga Ketua Pelita Hukum Independen (PHI) Wajo ini, Senin (14/7/2025).
Menurutnya, semangat dari edaran tersebut mungkin baik, yakni mendorong keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan publik mempertimbangkan seluruh elemen masyarakat tanpa menimbulkan stigma baru.
"Secara sepintas bagus, tapi akan melukai hati anak yatim, anak yang cerai kedua orangtuanya, anak yang bapaknya lagi merantau, dan anak yang bapaknya lagi bertugas atau lagi sakit. Apa solusi utk mereka? Yakin mereka yang tidak diantar bapaknya akan dirundung kesedihan melihat teman temannya diantar sama bapaknya. Kebijakan ini hanya melihat pada satu sisi, penalarannya kurang. Berpotensi menjadi alasan perundungan, ejek-ejekan dan bully sesama anak-anak," ujarnya.
“Harusnya kebijakan pendidikan inklusif itu mempertimbangkan semua latar belakang keluarga anak. Kalau ingin mendorong kedekatan orang tua dan anak, bisa menggunakan bahasa yang lebih umum, seperti mengajak keluarga atau wali mengantar anak di hari pertama sekolah,” jelasnya.
Lebih lanjut, PATBM Wajo berharap, ke depannya pihak berwenang dalam membuat kebijakan terkait anak agar lebih ramah anak dan inklusif, tanpa menimbulkan luka batin bagi anak-anak, utamanya yang telah kehilangan orang tuanya.
Sudirman juga mengajak lembaga pendidikan dan pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan aspek psikososial dalam membuat regulasi pendidikan. “Anak yatim juga punya hak yang sama untuk merasa diterima dan dihargai,” tegasnya.
Senada, Sekretaris Pusat PATBM Wajo, M Aksha Wahda menuturkan, kebijakan tersebut merupakan langkah positif, tapi bukan satu-satunya indikator kesetaraan dalam mengasuh anak.
"Sebenarnya ini langkah positif, namun jangan dijadikan indikator kesetaraan dalam pengasuhan. Setiap keluarga punya cara sendiri dalam mengasuh termasuk dalam urusan pendidikan," pungkasnya.
Diketahui, gerakan ini dicanangkan oleh Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga atau Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Republik Indonesia (Kemendukbangga/BKKBN).
Aturan tersebut ditetapkan di Jakarta pada 10 Juli 2025 dalam Surat Edaran (Kemendukbangga/BKKBN) Nomor 7 Tahun 2025 Tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah. (Fhyr/IC)
