KOPRI PB PMII Ajak Organisasi Perempuan Cipayung Dorong Pengesahan RUU Kekerasan Seksual


INILAHCELEBES.ID, JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri (KOPRI) PB PMII menginisiasi Focus Group Discussion (FGD).


Kegiatan tersebut dihadiri oleh OKP Perempuan dari GMKI, KOHATI, IMMAWATI dan LMND. Serta hadir juga, Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh.


Ketua KOPRI PB PMII, Septi Rahmawati mengatakan, pada moment Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini, mengajak perempuan dari OKP Cipayung plus untuk duduk barsama membicarakan problem-problem perempuan serta mempererat tali silatuhrahim antar organisasi yang pro terhadap hak-hak perempuan.


“Dimana Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tidak hanya berlangsung pada hari ini saja, tetapi dimulai dari tanggal 25 November hingga 10 Desember,” ucap Septi Rahmawati usai acara di Sekretariat PB PMII, Sabtu (25/11) Malam.


Dia juga mengartikan, selama 16 hari harus tetap semangat dalam melakukan gerakkan anti kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, semangat aksi juga bisa dilakukan terus menerus hingga tidak ada lagi hak-hak perempuan, terlebih akibat sebuah kekerasan.


Ajakan ini pun disambut baik oleh Immawati Qomariah. Dia mengatakan perempuan memang merupakan simbol bangsa. “Sebelum Islam datang, posisi perempuan sangatlah rendah dan ketika Islam datang, posisi dan derajat perempuan mulai terangkat dan mulai diperhatikan,” ungkapnya.


Di tempat yang sama, Delegasi Korps HMI-Wati (KOHATI), Mutya menjelaskan, untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan memang dibutuhkan sebuah dorongan yang besar dari organisasi kemahasiswaan perempuan.


“Selain itu, kekerasan terhadap perempuan diakibatkan oleh adanya kemiskinan dan rendahnya pendidikan,” tegasnya.


Di tempat yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh mengungkap bahwa kekerasan terhadap perempuan dialami dari berbagai level. Baik miskin, kaya, kelas menangah seorang perempuan dapat menjadi korban kekerasan. Dalam kesempatan tersebut, dia menceritakan kekerasan terhadap perempuan secara serius muncul pada tahun 1998 menjelang tumbangnya rezim Presiden Soeharto.


“Salah satu yang paling parah adalah kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa, disertai dengan pembunuhan yang diakui sekitar 87-90 perempuan yang mengalami kekerasan,” terangnya.


Namun, lanjutnya, pelaku dalam kasus ini menolak untuk dibawa ke pengadilan dan menganggap berita tersebut adalah hoax. “Maka dari itu, sebagai organisasi keperempuanan harus melakukan upaya-upaya anti kekerasan terhadap perempuan serta memajukan hak asasi perempuan,” ujarnya. (*)


Editor: Firman

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال