Orang Gila Boleh Mencoblos. Begini Penjelasan KPU!

[caption id="attachment_7376" align="aligncenter" width="2000"] KPU membolehkan orang dengan gangguan jiwa untuk menggunakan hak suaranya pada saat hari H Pemilu (foto: jawapos)[/caption]

INILAHCELEBES.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Penyelenggara pemilu itu memiliki landasan kuat untuk melakukan itu. Hanya, dalam praktiknya di lapangan, ada persyaratan tambahan.


Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, KPU tidak asal memasukkan seseorang dalam DPT. Termasuk ODGJ. “Pengakomodiran kami lakukan karena ada putusan MK,” terangnya dilansir dari jawapos. Putusan MK yang dimaksud itu bernomor 135/PUU-XIII/2015.


Menurut dia, syarat baru yang harus dilengkapi ODGJ untuk mencoblos adalah harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter.


“Bila dokter mengatakan dia bisa memilih, ya bisa. Jika tidak ada surat dokter, tidak bisa memilih,” lanjut mantan wakil ketua KIP Aceh itu. KPU akan memasukkan para ODGJ dalam kategori disabilitas, yakni disabilitas mental.


Syarat untuk ODGJ agar memiliki hak pilih tetap sama dengan mereka yang non-ODGJ. Harus berusia minimal 17 tahun dan memiliki e-KTP. Tanpa e-KTP, meski dinyatakan sembuh oleh dokter, dia tidak akan bisa dicatat dalam DPT.


Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menjelaskan, ODGJ memiliki sejumlah kategori yang bergantung pada tingkat gangguan jiwanya. Ada yang memang benar-benar sampai hilang ingatan, tapi ada yang stres berat. Beberapa jenis gangguan jiwa masih mungkin untuk diupayakan kesembuhannya.


Menurut dia, nama ODGJ juga dicantumkan dalam DPT untuk mengantisipasi kesembuhan mereka. Sebab, tidak semua gangguan jiwa itu bersifat permanen. "Kalau tidak didaftar di DPT, nanti saat hari pemungutan suara ternyata sembuh, berarti pemilih ini kehilangan hak pilih,” katanya.


Karena itu, lanjut dia, jalan tengahnya adalah memasukkan nama ODGJ ke DPT. Menjelang hari H pemungutan suara, bila sudah mendapat rekomendasi dari dokter kejiwaan, dia boleh menggunakan hak pilihnya itu. Sebaliknya, bila dokter berkata belum bisa memilih, hak pilihnya tidak akan diberikan. “Jadi, hak pilihnya dulu yang dilindungi. Soal nanti mencoblosnya, harus dibuktikan dengan surat keterangan sehat,” tambahnya.


Saat ditanya berapa jumlah pemilih yang masuk kategori ODGJ atau disabilitas mental, Pramono mengaku tidak hafal. Sebab, data mereka disatukan dengan penyandang disabilitas lainnya yang jumlahnya sekitar 400 ribu pemilih. Jumlah itu mungkin tidak sebanyak jumlah riil pemilih disabilitas. Namun, problemnya adalah tidak semua keluarga mau terbuka pada petugas coklit bahwa anggota keluarga mereka merupakan penyandang disabilitas.


Senada, Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin menyatakan bahwa ODGJ yang memenuhi syarat untuk memilih tetap harus didata. Baru ketika hari H dokter menyatakan dia tidak bisa memilih, ODGJ tersebut tidak diberi hak pilih. "Jangan sampai orang dicap duluan baru dimasukkan di data, tapi dimasukkan dulu baru kemudian kalau berat (sakitnya) dikeluarkan,” terangnya di Kemendagri.


Untuk berat atau tidaknya gangguan jiwa yang dialami, tentu hanya dokter yang bisa menentukan. “Informasi yang saya terima, (jumlahnya) sekitar 5.000,” lanjutnya.


Berapa pun jumlahnya, bila mereka memenuhi syarat administratif, tentu wajib diberikan hak-haknya. Apakah nanti hak pilih itu digunakan atau tidak, bergantung rekomendasi dokter menjelang hari pemungutan suara. (*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال