Opini: Corona Pasca Idul Fitri

Supriadi Arif, S.Pd.I
Hari ini angka pasien Covid-19 mengalami peningkatan yang drastis, tetapi pergerakan manusia semakin leluasa.

Gang-gang dan desa serta jalan yang kemarin diberi penghalang sekarang dibiarkan terbuka. Jadi setelah aksi-aksi reaksioner tentang menjaga kebersihan lingkungan, jaga jarak, menyiapkan ember-ember, dan sabun, maka sekarang sepertinya masyarakat mulai bermasa bodoh.

Jadi persoalan apakah pemerintah bicara tentang kurva harus turun di bulan Juni atau kita berdamai dengan Covid, tampaknya orang-orang mulai jenuh hingga mengalami kebosanan.

Dan hari ini, kita diperkenalkan bahwa Berdamai dengan Covid-19 dan hidup bersama dengan segala resikonya karena hidup bukan soal Corona saja, toh sekarang orang biasa saja dengan jalanan macet. Pembukaan kunci-kunci ekonomi seperti kantor-kantor pemerintahan dan pusat-pusat dagang pun kembali dibuka, pembebasan ruang gerak juga berangsur mulai dilonggarkan. Konsep ini sebenarnya justru untuk menyelamatkan kehidupan sehari-hari rakyat banyak.

Di sisi lain, pemerintah masih kurang terbuka untuk mengakui krisis ekonomi yang akan terjadi. Posisi utang akhir Maret dilaporkan APBN edisi April Kemenkeu kemaren sebesar Rp 5.192,56 T. Dengan demikian, Pemerintah kemaren sudah mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi akan mengalami resesi dan resesi bisa berkembang menjadi krisis ekonomi jika pandemi Covid masih memburuk.

Akan lebih buruk jika tidak ada koordinasi yang baik di dalam pemerintahan pusat dan daerah, antar kementerian/Lembaga, maupun antara otoritas ekonomi.

Sebagai contoh: Menkeu bilang asumsi kurs Rp 17.500, BI yakin akan Rp 15.000 pada akhir tahun. Tentang kurang baiknya koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah, serta antar kementerian/Lembaga sudah tampak di ruang publik dan media-media.

Pandemi telah menyusahkan banyak rakyat, sudah menjadi fakta, dan kita akui itu musibah. Namun dengan menjelangnya Lebaran Idul Fitri tentu memberikan roda putaran ekonomi yang saling bahu membahu dengan daya beli masyarakat meningkat akibat kebutuhan lebaran dan ini momentum yang memberikan pemerintah ruang gerak ekonomi terbilang normal.

Maka bisa dikata bahwa momentum lebaran memberi efek penormalan ekonomi yang sebelumnya dianggap lesu. Dengan semangat lebaran Idul Fitri yang masih terjaga, dimana bulan sebelumnya membuat pedagang-pedagang rugi kini berangsur mulai membaik akibat menaiknya daya beli masyarakat menjelang lebaran.

Oleh sebab itu, setelah lebaran Idul Fitri kita tetap harus hidup normal tanpa perlu ada lagi aturan PSBB. Sebab kalau diperpanjang lagi, bukan penyebaran virusnya yang berbahaya melainkan hancurnya ruang hidup dan masa depan lintas generasi kita. Dengan momentum Hari Raya Idul Fitri, berdamailah dengan keadaan, karena hidup adalah Vivere Pericoloso (selalu menyerempet bahaya)". Maka hadapi hidup ini dengan normal.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال