Membangun Kesadaran Politik Masyarakat Melalui Pendidikan Pemilih Berkelanjutan

[caption id="attachment_11451" align="aligncenter" width="1024"] Zainal Arifin (Anggota KPU Kab. Wajo Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Parmas dan SDM)[/caption]

Partisipasi pemilih dalam setiap Pemilu maupun pemilihan selalu menjadi diskursus yang menarik untuk dikaji. Partisipasi masyarakat sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Partisipasi pemilih memiliki makna yang sangat urgen dalam menggerakkan sistem demokrasi. Apabila masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, maka proses konsolidasi politik dan proses demokratisasi di Indonesia akan berjalan dengan baik yang pada akhirnya akan sangat berarti terhadap perkembangan bangsa dan negara. Karenanya, partisipasi pemilih harus terus didorong agar mengalami peningkatan dalam setiap momentum pesta demokrasi.

Partisipasi masyarakat berkaitan erat dengan pemenuhan hak politik setiap warga negara. Tingginya partisipasi pemilih sekaligus menjadi banchmark (tolok ukur) tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan sebagai instrumen demokrasi yang konstitusional yang disediakan oleh negara untuk memilih pemimpin.

Pemilu Serentak Tahun 2019 yang usai digelar pada 17 April 2019 lalu mampu mendulang partisipasi pemilih yang cukup tinggi yaitu 81,97 persen untuk Pilpres dan 81,69 persen untuk Pileg. Jika dibandingkan dengan partisipasi pemilih pada Pemilu 2014, Pileg hanya di angka 75,11 persen, sementara Pilpres 71,31 persen. Tentu hal tersebut menjadi suatu yang cukup menggembirakan dan patut diapresiasi sebagai salah satu keberhasilan dalam proses Pemilu kita.

Namun, kabar buruknya adalah bahwa proses penyelenggaraan Pemilu 2019 yang melampaui ambang batas target partisipasi pemilih yaitu 77,5 persen masih diwarnai dengan praktik money politic (politik uang).

Maraknya politik uang dalam Pemilu menjadi indikasi bahwa kualitas pemilih kita masih cukup memprihatinkan. Berdasarkan hasil survey
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait pengaruh politik uang dalam Pemilu 2019 ditemukan bahwa 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019 kendati pun tidak mempertimbangkan untuk memilih mereka. Sementara itu, 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih.

Data ini kemudian relevan dengan banyaknya laporan dugaan politik uang yang diproses oleh Bawaslu sepanjang tahapan Pemilu 2019. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat kita dalam menyalurkan hak politiknya masih sulit dilepaskan dari praktik jual beli suara. Fakta ini kemudian menyebabkan kualitas pemilih kita menjadi dipertanyakan.

Oleh karena itu, partisipasi pemilih dalam setiap event demokrasi sejatinya tidak sekadar diukur dari aspek kuantitatif atau banyaknya pemilih yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya. Pada konteks ini, yang tidak kalah penting adalah aspek kualitatif. Aspek kualitatif yang dimaksud adalah sejauh mana tingkat kesadaran politik dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan.

Kesadaran politik merupakan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Surbakti, 2007: 144). Sebagai warga negara yang berdaulat, paling tidak ada dua hal mendasar yang harus disadari masyarakat, yaitu hak dan kewajibannya. Seringkali masyarakat hanya menuntut haknya namun abai terhadap kewajibannya. Untuk itu, perlu ada upaya untuk memberi penyadaran akan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam konteks penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Memang, masyarakat berhak untuk menentukan pilihannya pada salah satu figur atau calon tertentu tetapi pada saat yang sama mereka juga wajib memastikan bahwa semua proses penyelenggaraannya berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, masyarakat wajib menjadi bagian dari proses suksesi kepemimpinan yang bebas dari berbagai bentuk politik yang menyimpang.

Disinilah pentingnya Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih terus dilakukan agar masyarakat dapat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan sebagai manifestasi atas kesadaran politik yang ia miliki. Pendidikan Pemilih adalah proses penyampaian informasi kepada Pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran Pemilih tentang Pemilu. Pendidikan Pemilih idealnya dilakukan secara berkelanjutan bukan hanya pada saat tahapan Pemilu dan Pemilihan agar bisa melahirkan pemilih cerdas dan demokratis. Dengan demikian, upaya Pendidikan Pemilih harus menjadi komitmen bersama oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk dilakukan secara simultan.

Sebagai penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum telah dan akan terus berikhtiar menjalankan program pendidikan pemilih sebagai upaya peningkatan partisipasi dan kualitas pemilih melalui proses indoktrinasi dan penanaman nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai luhur demokrasi harus selalu dihadirkan dalam setiap proses politik bangsa ini agar tercipta tatanan kehidupan demokrasi yang lebih sehat yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian tujuan demokrasi subtantif yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Wallahu A'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال