Bahas Maraknya Pernikahan Dini di Wajo, PHI Usul ke Dewan Gelar RDP


Wajo
- Disahkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengubah ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 dan ayat 2, yang pada pokoknya mengubah batas usia perkawinan bagi perempuan dari usia 16 tahun menjadi 19 tahun, menimbulkan respon yang beragam di kalangan masyarakat.

Sejumlah masyarakat malah merespon kurang baik atas terbitnya undang-undang yang mengatur masalah perkawinan ini. Hal tersebut diungkapkan Ketua Pelita Hukum Independent (PHI) Kabupaten Wajo, Sudirman saat menyampaikan aspirasi di Kantor DPRD Wajo, Selasa (27/9/22).

Menurut Sudirman, Undang-undang ini menimbulkan fenomena sosial bagi masyarakat, khususnya orang Wajo yang sebahagian masyarakatnya sudah terbiasa menikahkan anaknya di usia muda.

Sehingga, dia berharap stakeholder yang terkait dengan aturan ini untuk duduk bersama merumuskan dan mencarikan solusi atas permasalahan ini.

Sudirman menilai ada celah dalam Undang-Undang Perkawinan yang bisa dijadikan dasar untuk menikahkan anak di bawah usia 19 tahun dengan berbagai alasan, salah satunya kearifan lokal Kabupaten Wajo.

“Aturan ini perlu dilonggarkan secara proporsional dan diperketat dalam pemberlakuannya dengan membuat Peraturan Bupati,” usulnya.

Sudirman memberikan perumpamaan dengan rambu lampu lalu lintas. Untuk orang umum tanda lampu merah berarti harus berhenti. Tetapi bagi mobil ambulans atau mobil patwal bisa diterobos. Berarti, lanjut Sudirman, aturan itu tidak mutlak dan ada pengecualian.

“Begitu juga dengan Undang-Undang Perkawinan yang membatasi usia 19 tahun. Aturan itu akan menjadi tidak mutlak jika ada alasan emergency, misalnya hamil, kalau hamil tentu harus segera dinikahkan walaupun usianya belum 19 tahun,” ujarnya.

Magister ilmu hukum ini melihat ada kecenderungan masyarakat Wajo yang kadang tidak mengindahkan aturan perkawinan karena memang ingin menikahkan anaknya lebih cepat.“Kadang masyarakat berprinsip silahkan pemerintah tegakkan aturan, kami tetap nikahkan sendiri anak kami," ujarnya.

Prinsip inilah, sebut Sudirman yang akan menimbulkan dampak pada masa yang akan datang, terutama pada saat pengurusan administrasi kependudukan.Untuk itu, Sudirman mengusulkan agar masalah pernikahan dini diagendakan oleh DPRD Kabupaten Wajo untuk dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengajak stakeholder yang terkait.

Penerima aspirasi DPRD Wajo, Sudirman Meru, sangat mengapresiasi aspirasi dari PHI yang mengangkat masalah perkawinan di usia dini yang marak terjadi saat ini. Sudirman berharap dengan adanya fenomena pernikahan dini, seluruh stakeholder bisa merumuskan dan mencarikan solusinya untuk kepentingan masyarakat Wajo.

“Mari kita carikan solusi dari fenomena sosial ini demi kepentingan masyarakat Wajo,” Harapnya.

Gagasan Ketua PHI untuk merumuskan masalah pernikahan dini mendapat dukungan dari Anggota DPRD Kabupaten Wajo, H Anwar. Menurut Legislator Partai Nasdem ini, dia sangat mendukung fenomena sosial ini untuk dibahas melalui RDP.

Kata H Anwar, menikahkan anak diusia dini bagi sebahagian masyarakat suku Bugis adalah sebuah kehormatan.

“Menikahkan anak di usia muda adalah salah satu kultur dan budaya masyarakat Bugis. Walaupun bertentangan dengan Undang-Undang tapi dianggap sebagai sebuah kehormatan, untuk itu perlu dibicarakan untuk mendapatkan solusi,” ujarnya.

Kepala Desa Pakkanna, Wikra Wardana yang mewakili Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Wajo, berharap fenomena ini dapat dipikirkan bersama. Sebagai Pemerintah Desa, Wikra mengaku sering mendampingi warganya ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan izin menikah di usia muda.

“Saya sering mendampingi warga saya ke Pengadilan. Tapi saat ini agak susah mendapatkan ijin, untuk itu saya berharap ada solusi dalam penyelesaian masalah ini,” ujarnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال